Akademisi sekaligus Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kerjasama Universitas Muhammadiyah Palu, Dr. Raifuddin Nurdin, S.P.,M.H,.M.P mendorong pemerintah dalam hal ini kementerian terkait untuk memasukan pendidikan mitigasi bencana kedalam kurikulum dan diajarkan di setiap jenjang pendidikan, termasuk di perguruan tinggi.

Transformasi pengetahuan terkait kebencanaan ke peserta didik dan mahasiswa sangat penting di negara kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, dimana hampir semua wilayah Indonesia berpotensi mengalami bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, banjir dan tanah longsor.

Dimana wilayah Indonesia merupakan jalur deretan gunung Api (Ring of Fire) yang aktif, serta secara geografis berada pada pertemuan dua lempeng aktif bergerak sepanjang tahun.

Dengan kondisi tersebut, mau tidak mau masyarakat harus selalu siap menghadapi risiko, tentu dengan persiapan yang matang, salah satunya dengan tranformasi pengetahuan dan melibatkan kearifan lokal berbasis masyarakat sehingga metode pendekatan tepat sasaran.

“Salah satu tujuan dari transformasi pengetahuan lewat lembaga pendidikan adalah mengurangi resiko dari bencana itu,” ungkapnya.

Terlebih dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana tidak mengatur secara spesifik dan tegas mengatur indikator terkait mitigasi bencana dan kesiap-siagaan.

Sehingga lembaga pendidikan harus mengambil peran mengedukasi masyarakat khususnya tingkat pelajar dan mahasiswa terkait mitigasi bencana untuk mengurangi tingkat resiko dari bencana alam itu.

Belum lagi di Sulawesi Tengah, peristiwa tanggal 28 September 2018 telah menjadi pengalaman berharga, sedikitnya 2.073 korban jiwa dan triliunan rupiah kerugian materi.

Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya edukasi kebencanaan baik ditingkat dunia pendidikan terlebih di masyarakat umum. Belum lagi proses penanganan korban pasca bencana, berbulan-bulan mengalami polemik akibat tidak terkelola dengan bagus.

Salah satunya yang paling penting di dorong adalah perguruan tinggi untuk melakukan riset terapan untuk dijadikan sebagai naskah akademik yang selanjutnya dapat sebagai bahan pembangunan dan kebijakan pemerintah, khususnya pada bidang kebencanaan.

Karena konsep dasar berpikir lahirnya sebuah kebijakan diawali dari sebuah naskah akademik yang terlahir dari dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi. “Jangan selama ini perguruan tinggi hanya terlihat dari pendidikan dan pengajaran, sementara penelitian dan pengabdian tenggelam, padahal dalam dunia pendidikan tinggi khusus PTM ada Catur Dharma” ungkapnya.

Dalam Catur Dharma Perguruan Tinggi terangkum di dalamnya penelitian, penelitian inilah seharusnya bisa menghasilnya hasil riset tarapan, sama halnya dengan lembaga riset lainnya seperti LIPI dan sebagaianya. “Sesungguhnya perguruan tinggi juga adalah sebagai laboratorium yang menghasilkan sebuah riset-riset unggulan dan terapan untuk dijadikan sebagai naskah akademik yang selanjutnya nanti sebagai bahan pembangunan dan kebijakan, khususnya bidang kebencanaan,” jelasnya.

Dalam penanganan bencana kata Warek I Unismuh Palu ini, ada Empat tahap yang harus diperhatikan, pertama preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan resiko bencana), kesiap-siagaan, dan peringatan dini. Jika keempatnya dapat berjalan dengan baik, maka risiko dari bencana dapat diminimalisir, bahkan jika perlu tidak ada korban.

Untuk itu kata Dr. Rafiuddin, penanggulangan bencana harus ditempatkan sebagai subyek penting di sekolah hingga Perguruan Tinggi, dan Perguruan Tinggi harus dijadikan sebagai pusat lembaga riset pengelolaan bencana.

Sumber: https://sultengraya.com/77297/akademisi-unismuh-palu/